Notification

×

Iklan

Iklan




Komunikasi Dengan Dokter,Salah Satu Penyebab Orang Indonesia Berobat Keluar Negeri

08 April 2019

Jakarta,DP News
Manajemen rumah sakit di Tanah Air menyadari untuk mulai membangkitkan kesadaran masyarakat agar lebih percaya terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia, ketimbang mencari kesembuhan ke mancanegara.
Di tengah ketatnya bisnis pelayanan kesehatan, sebagian besar dari pelaku usaha di industri ini telah menempuh berbagai langkah untuk menjaring pasien, baik dari dalam maupun luar negeri.
Direktur Rumah Sakit (RS) Bethsaida, Bina Ratna Kusuma Fitri, mengatakan salah satu daya saing pelayanan kesehatan yang paling krusial adalah komunikasi. Dia menilai, komunikasi yang baik antara pasien dan manajemen rumah sakit akan menentukan bagaimana sikap pasien ke depan.
Jika komunikasi berjalan dengan baik, bukan tidak mungkin pasien akan menyebarkan informasi terkait dengan layanan rumah sakit kepada kerabat terdekat.
Selain itu, ditilik dari fasilitas dan kemampuan rumah sakit antara Indonesia dan negara lain tidak jauh berbeda. Namun, jika menyoal tarif pelayanan kesehatan, Indonesia dinilai kalah, lantaran Malaysia tidak mengenakan pajak obat-obatan. Hal itu membuat pelayanan di Malaysia terkesan lebih murah.
Meskipun mengaku sedih dengan bertambahnya pasien Indonesia yang memilih berobat ke luar negeri, Bina Ratna masih optimistis masyarakat dapat menerima edukasi. “Itu salah satu peluang kami,” ujarnya.
Terlebih lagi, kemampuan komunikasi dokter di Indonesia sudah jauh berubah. “Kalau sekarang dokter di Indonesia menganggap pasien adalah klien. Nah, perspektifnya sudah beda. Semua ini harus digaungkan secara berkelanjutan sehingga menimbulkan kenyamanan masyarakat untuk berobat di dalam negeri.”
Mengenai daya saing, manajemen RS Bethsaida menyediakan fasilitas pengobatan yang berbeda dari rumah sakit lainnya. Dia mencontohkan, manajemen menyediakan extracorporeal shock wave lithotripsy (SWL), dan fasilitas hiperbarik di samping CT scan dan MRI.
BPJS KESEHATAN
Fifi Maghfirah, Direktur Urusan Medis Rumah Sakit Islam Jakarta Utara, mengatakan bahwa selama ini manajemen rumah sakit di Indonesia selalu tertantang untuk memberikan pelayanan yang maksimal. Sayangnya, dengan banyaknya pasien yang menggunakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, membuat dokter tidak banyak berkomunikasi dengan pasien.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan tindakan yang dilakukan oleh rumah sakit luar negeri. Misalnya di Malaysia, manajemen rumah sakit memberikan pelayanan maksimal untuk pasien berupa pertanyaan tentang riwayat penyakit yang diderita oleh kepada pasien, untuk bekal observasi dan penanganan lebih lanjut. Hal ini membuat pasien merasa diperhatikan.
Rumah sakit di luar negeri juga memberikan pelayanan seperti penjemputan pasien di bandar udara. Fifi mengatakan, RS luar negeri telah menerapkan Joint Commision International (JCI) yang di Indonesia diadopsi menjadi Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS).
Peraturan ini seharusnya menjadi acuan bagi kalangan rumah sakit untuk memberikan hasil dan pelayanan secara maksimal kepada pasien.
“Dokter kita di Indonesia hebat-hebat. Kenapa mereka [pasien] lebih suka lari ke luar? Bukan karena fasilitasnya. Fasilitas rumah sakit kita tidak kalah dengan rumah sakit yang di luar. Yang menjadi masalah kami adalah komunikasi,” ujarnya.
Menurutnya, dari riset komplain pasien, persentase tertinggi mencapai lebih dari 90% adalah komunikasi yang tidak efektif.
Terpisah, Investor Relations PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk. (MIKA) Aditya Wijaya mengemukakan bahwa jumlah dokter spesialis masih sangat sedikit di Indonesia. Hal ini termasuk di Rumah Sakit Mitra Keluarga.
Sebagian pasien penyakit kronis, ujarnya, memilih berobat ke luar negeri, karena keterbatasan dokter spesialis. “Ditilik dari sisi teknologi dan ketersediaan dokter yang pengalamannya lebih banyak [sedikit], tetapi pada dasarnya RS umum di Indonesia masih bagus.”
BANYAK TANTANGAN
Direktur Utama Pertamedika IHC Dany Amrul Ichdan menjelaskan bahwa rumah sakit di dalam negeri masih menghadapi banyak tantangan untuk terus berbenah. Terdapat tiga hal yang perlu ditingkatkan untuk menggaet pasien baik dari dalam dan luar negeri.
Pertama, melengkapi fasilitas rumah sakit dengan alat medis. Kedua, meningkatkan kemampuan para tenaga medis, dan ketiga, harus melakukan berbagai cara untuk memperbaiki sistem sehingga pasien lebih dimudahkan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Sementara itu, untuk meningkatkan daya saing, Dany berpandangan rumah sakit di Tanah Air wajib memperbaiki fasilitas, dan infrastrukturnya untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat Indonesia.
“Orang, kan ke luar negeri karena tidak percaya [dengan rumah sakit dalam negeri]. Kami juga harus memperbaiki tenaga medis. Caranya, kami sekolahkan, kita tingkatkan ilmunya, supaya mereka dapat memenuhi ekspektasi masyarakat menengah ke atas. Selain itu, di samping infrastruktur dan manusianya, kami juga mempercepat prosesnya [layanan],” tegasnya.
Dany menambahkan, hal penting lainnya adalah perbaikan sistem teknologi informasi agar proses pelayanannya terintegrasi dapat diterapkan seperti di rumah sakit luar negeri.
RS yang dipimpinnya juga memiliki dokter subspesialistik yang diklaimnya mendalami ilmu secara mumpuni dan tidak kalah dengan di luar negeri. “Kami punya burn center untuk pasien infeksi luka bakar, karena menjadi rumah sakit kepresidenan dan rumah sakit oil and gas. Tidak banyak rumah sakit di Indonesia yang punya burn center,” katanya.
Himawan Prasetyo, Direktur 1 RS Columbia Asia Pulomas menilai, industri kesehatan sudah sangat lama tidak tersentuh oleh pemerintah.
“Berdiri sendiri. Salah satunya dari sisi dokternya. Jumlahnya sedikit. Namun, secara kompetensi, saya kira masih lebih baik dokter lokal, tetapi memang di luar negeri selalu lebih maju dari segi teknologi dan riset,” ujarnya.
Meskipun demikian, dia menyarankan agar manajemen rumah sakit nasional harus terus belajar ke luar negeri.
"Menurutnya, manajemen rumah sakit di Indonesia mampu mendatangkan teknologi kesehatan yang canggih, tetapi siapa yang akan mengoperasikan peralatan tersebut masih menjadi pekerjaan rumah. Mengingat para dokter harus belajar terlebih dahulu, dan butuh waktu yang tidak singkat," katanya.
Himawan menambahkan, saat ini manajemen RS swasta juga menghadapi masalah untuk mendapatkan dokter spesialis. "Mencari dokter spesialis susahnya minta ampun. Kami selalu mendorong para dokter untuk ambil spesialis, atau yang sudah ambil spesialis ambil spesialis tertentu. Semua itu ada programnya, cuma suplainya yang susah. Jadi tergantung dokternya juga, mau atau enggak,” jelasnya.
Baru-baru ini RS Columbia memperkenalkan teknologi CRT Multipoint yang diklaim dari segi medis dapat meningkatkan kualitas hidup dan harapan hidup pasien gagal jantung.

Peralatan canggih yang dimiliki manajemen rumah sakit ini dapat membantu pasien untuk berobat dengan biaya yang lebih hemat, karena tidak perlu menambah dana untuk mencari tempat tinggal di luar negeri.(Rd/

| | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | |