Jakarta,DP News
Manajemen rumah sakit di Tanah
Air menyadari untuk mulai membangkitkan kesadaran masyarakat agar lebih percaya
terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia, ketimbang mencari kesembuhan ke
mancanegara.
Di tengah ketatnya bisnis
pelayanan kesehatan, sebagian besar dari pelaku usaha di industri ini telah
menempuh berbagai langkah untuk menjaring pasien, baik dari dalam maupun luar
negeri.
Direktur Rumah Sakit (RS)
Bethsaida, Bina Ratna Kusuma Fitri, mengatakan salah satu daya saing pelayanan
kesehatan yang paling krusial adalah komunikasi. Dia menilai, komunikasi yang
baik antara pasien dan manajemen rumah sakit akan menentukan bagaimana sikap
pasien ke depan.
Jika komunikasi berjalan
dengan baik, bukan tidak mungkin pasien akan menyebarkan informasi terkait
dengan layanan rumah sakit kepada kerabat terdekat.
Selain itu, ditilik dari
fasilitas dan kemampuan rumah sakit antara Indonesia dan negara lain tidak jauh
berbeda. Namun, jika menyoal tarif pelayanan kesehatan, Indonesia dinilai
kalah, lantaran Malaysia tidak mengenakan pajak obat-obatan. Hal itu membuat
pelayanan di Malaysia terkesan lebih murah.
Meskipun mengaku sedih
dengan bertambahnya pasien Indonesia yang memilih berobat ke luar negeri, Bina
Ratna masih optimistis masyarakat dapat menerima edukasi. “Itu salah satu peluang
kami,” ujarnya.
Terlebih lagi, kemampuan
komunikasi dokter di Indonesia sudah jauh berubah. “Kalau sekarang dokter di
Indonesia menganggap pasien adalah klien. Nah, perspektifnya sudah beda. Semua
ini harus digaungkan secara berkelanjutan sehingga menimbulkan kenyamanan
masyarakat untuk berobat di dalam negeri.”
Mengenai daya saing,
manajemen RS Bethsaida menyediakan fasilitas pengobatan yang berbeda dari rumah
sakit lainnya. Dia mencontohkan, manajemen menyediakan extracorporeal shock wave lithotripsy (SWL),
dan fasilitas hiperbarik di samping CT scan dan MRI.
BPJS
KESEHATAN
Fifi Maghfirah, Direktur
Urusan Medis Rumah Sakit Islam Jakarta Utara, mengatakan bahwa selama ini
manajemen rumah sakit di Indonesia selalu tertantang untuk memberikan pelayanan
yang maksimal. Sayangnya, dengan banyaknya pasien yang menggunakan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, membuat dokter tidak banyak
berkomunikasi dengan pasien.
Kondisi ini berbanding
terbalik dengan tindakan yang dilakukan oleh rumah sakit luar negeri. Misalnya
di Malaysia, manajemen rumah sakit memberikan pelayanan maksimal untuk pasien
berupa pertanyaan tentang riwayat penyakit yang diderita oleh kepada pasien,
untuk bekal observasi dan penanganan lebih lanjut. Hal ini membuat pasien merasa
diperhatikan.
Rumah sakit di luar
negeri juga memberikan pelayanan seperti penjemputan pasien di bandar udara.
Fifi mengatakan, RS luar negeri telah menerapkan Joint Commision International
(JCI) yang di Indonesia diadopsi menjadi Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS).
Peraturan ini seharusnya
menjadi acuan bagi kalangan rumah sakit untuk memberikan hasil dan pelayanan
secara maksimal kepada pasien.
“Dokter kita di Indonesia
hebat-hebat. Kenapa mereka [pasien] lebih suka lari ke luar? Bukan karena
fasilitasnya. Fasilitas rumah sakit kita tidak kalah dengan rumah sakit yang di
luar. Yang menjadi masalah kami adalah komunikasi,” ujarnya.
Menurutnya, dari riset
komplain pasien, persentase tertinggi mencapai lebih dari 90% adalah komunikasi
yang tidak efektif.
Terpisah, Investor
Relations PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk. (MIKA) Aditya Wijaya mengemukakan
bahwa jumlah dokter spesialis masih sangat sedikit di Indonesia. Hal ini
termasuk di Rumah Sakit Mitra Keluarga.
Sebagian pasien penyakit
kronis, ujarnya, memilih berobat ke luar negeri, karena keterbatasan dokter
spesialis. “Ditilik dari sisi teknologi dan ketersediaan dokter yang
pengalamannya lebih banyak [sedikit], tetapi pada dasarnya RS umum di Indonesia
masih bagus.”
BANYAK
TANTANGAN
Direktur Utama Pertamedika
IHC Dany Amrul Ichdan menjelaskan bahwa rumah sakit di dalam negeri masih
menghadapi banyak tantangan untuk terus berbenah. Terdapat tiga hal yang perlu
ditingkatkan untuk menggaet pasien baik dari dalam dan luar negeri.
Pertama, melengkapi
fasilitas rumah sakit dengan alat medis. Kedua, meningkatkan kemampuan para
tenaga medis, dan ketiga, harus melakukan berbagai cara untuk memperbaiki
sistem sehingga pasien lebih dimudahkan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Sementara itu, untuk
meningkatkan daya saing, Dany berpandangan rumah sakit di Tanah Air wajib
memperbaiki fasilitas, dan infrastrukturnya untuk memberikan kepercayaan kepada
masyarakat Indonesia.
“Orang, kan ke luar
negeri karena tidak percaya [dengan rumah sakit dalam negeri]. Kami juga harus
memperbaiki tenaga medis. Caranya, kami sekolahkan, kita tingkatkan ilmunya,
supaya mereka dapat memenuhi ekspektasi masyarakat menengah ke atas. Selain
itu, di samping infrastruktur dan manusianya, kami juga mempercepat prosesnya
[layanan],” tegasnya.
Dany menambahkan, hal
penting lainnya adalah perbaikan sistem teknologi informasi agar proses
pelayanannya terintegrasi dapat diterapkan seperti di rumah sakit luar negeri.
RS yang dipimpinnya juga
memiliki dokter subspesialistik yang diklaimnya mendalami ilmu secara mumpuni
dan tidak kalah dengan di luar negeri. “Kami punya burn center untuk pasien
infeksi luka bakar, karena menjadi rumah sakit kepresidenan dan rumah sakit oil
and gas. Tidak banyak rumah sakit di Indonesia yang punya burn center,” katanya.
Himawan Prasetyo,
Direktur 1 RS Columbia Asia Pulomas menilai, industri kesehatan sudah sangat
lama tidak tersentuh oleh pemerintah.
“Berdiri sendiri. Salah
satunya dari sisi dokternya. Jumlahnya sedikit. Namun, secara kompetensi, saya
kira masih lebih baik dokter lokal, tetapi memang di luar negeri selalu lebih
maju dari segi teknologi dan riset,” ujarnya.
Meskipun demikian, dia
menyarankan agar manajemen rumah sakit nasional harus terus belajar ke luar
negeri.
"Menurutnya,
manajemen rumah sakit di Indonesia mampu mendatangkan teknologi kesehatan yang
canggih, tetapi siapa yang akan mengoperasikan peralatan tersebut masih menjadi
pekerjaan rumah. Mengingat para dokter harus belajar terlebih dahulu, dan butuh
waktu yang tidak singkat," katanya.
Himawan menambahkan, saat
ini manajemen RS swasta juga menghadapi masalah untuk mendapatkan dokter
spesialis. "Mencari dokter spesialis susahnya minta ampun. Kami selalu
mendorong para dokter untuk ambil spesialis, atau yang sudah ambil spesialis
ambil spesialis tertentu. Semua itu ada programnya, cuma suplainya yang susah.
Jadi tergantung dokternya juga, mau atau enggak,” jelasnya.
Baru-baru ini RS Columbia
memperkenalkan teknologi CRT Multipoint yang diklaim dari segi medis dapat
meningkatkan kualitas hidup dan harapan hidup pasien gagal jantung.
Peralatan canggih yang
dimiliki manajemen rumah sakit ini dapat membantu pasien untuk berobat dengan
biaya yang lebih hemat, karena tidak perlu menambah dana untuk mencari tempat
tinggal di luar negeri.(Rd/