Notification

×

Iklan

Iklan




Sri Mulyani Terapkan ‘Management Performance’ Dalam Membina Keluarga

, Minggu, April 21, 2019


Jakarta,DP News
Lepas dari segala jabatan yang melekat di dirinya, Sri Mulyani adalah perempuan biasa. Ia adalah ibu, istri, sekaligus wanita yang bekerja.
CNBC Indonesia berkesempatan berbincang banyak dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani, di kantornya di Kementerian Keuangan, Kamis (18/4).
Kami banyak menyinggung soal isu kesetaraan gender, peran perempuan di Indonesia, juga hal-hal seperti bagaimana mendidik anak, dan bercerita tentang ibunya yang menjadi panutan utama Sri Mulyani.
Dalam wawancara yang berlangsung hampir satu jam, mantan direktur pelaksana Bank Dunia ini tampak sangat bersemangat bercerita sambil sesekali bercanda.
Sebelumnya, kami sudah memuat wawancaranya soal isu Kartini dan kesetaraan gender. Kini, lebih banyak mengupas sisi pribadinya.
Berbincang santai dengan Prima Wirayani dan Gustidha Budiartie dari CNBC Indonesia, berikut kutipan wawancara bersama dengan Menteri Keuangan terbaik di dunia;
Di instagram, kami pernah lihat saat Anda berfoto dengan menteri-menteri di ASEAN, Anda perempuan di antara laki-laki. Bagaimana rasanya bekerja di lingkungan yang dikelilingi laki-laki?
Saya tidak sadar kerja di lingkungan laki-laki, ASEAN iya laki-laki semua, di G-20 juga. Tapi Spanyol sekarang menteri keuangannya perempuan, ini sama seperti Christine Lagarde [Direktur Pelaksana IMF] di Perancis dulu menjadi menteri keuangan perempuan. Jadi rasanya kalau bertemu itu "I'm glad I have a friend," seperti kata Lagarde.
Dengan hadir sebagai perempuan di sektor yang didominasi laki-laki, dengan adanya lawan jenis mereka jadi lebih konsiderat, lebih peka. Jika semua lelaki, kepekaan itu bisa tidak muncul.
Makanya ada survey yang mengatakan untuk perusahaan terutama di Eropa, yang direksinya terdiri dari perempuan maka kinerja perusahaan relatif lebih baik dan reputasi juga lebih baik karena waktu buat keputusan, mereka sadar bahwa mereka itu bukan mahkluk homogenus.
Perempuan itu memang beda secara biologis jadi kalau di kantor butuh tempat laktasi, day care untuk perempuan yang berumah tangga dan ada anak. Jadi mereka tidak dipaksa memilih kerja atau di rumah. Di dalam lingkungan yang masih didominasi laki-laki, kehadiran perempuan itu bisa memperkaya kebijakan.
Kehadiran perempuan itu penting apalagi dalam membuat kebijakan, kebijakan itu kan mempengaruhi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat itu tidak semua laki-laki tapi separuhnya perempuan. Jadi ini akan bikin kebijakan lebih inklusif dan lebih luas.
Bagaimana caranya agar kantor atau kementerian bisa mengmberdayakan wanita, sehingga mereka bisa bekerja dan berkarir tanpa hambatan?
Institusi harus menggambarkan bahwa mereka welcome terhadap perempuan, itu bisa ditunjukkan dengan berbagai gestur oleh CEO-nya. Waktu saya di bank dunia, pimpinan saya sangat percaya bahwa perempuan harus hadir, sehingga saat ada promosi jabatan jika tidak ada kandidat perempuan, tidak akan dilayani.
Harus minimal kuota 35%, harus disiplin, supaya tidak eksklusif, jadi kalau mau welcome lebih bagus. Hal-hal kecil aja dimulai dari ruang laktasi, promosi, lalu kuota. Perempuan jika jumlahnya sedikit, nanti dia bebannya akan lebih banyak sekali. Masih ada stereotyping yang menilai perempuan di bawah level laki-laki bahkan sebelum mereka bekerja.
Perbedaan itu harus dihormati dan harus ditunjukkan dengan gestur, dan pengambilan keputusan.
Anda pernah mengungkit soal kekaguman terhadap perjuangan ibu Anda, bisa diceritakan bagaimana peran ibu bagi Anda?
Yang memberi pengaruh sangat besar ke -9 anaknya, adalah orang tua kami. Kami tidak bisa pisahkan ibu dan bapak sebenarnya, karena mereka harmonis, fun, lucu, tapi juga serius sehingga komplit.
Ibu saya tidak hanya sayang sekali pada anaknya tapi juga suaminya, jadi waktu saya SD dia sedang belajar S3. Senin sore berangkat ke Jakarta karena dia kuliah di IKIP [kini UNJ, Jakarta], Jumat pulang ke Semarang.
Mencapai sesuatu dengan perjuangan, energinya tidak habis dalam memanjakan suaminya. Dia memang tidak bisa memasak, tapi dia memastikan di meja makan itu harus ada makanan kesukaan suami.
Begitu anaknya ada yang jatuh sakit, dia setop semua aktivitas dan fokus 100% pada kami.
Semua orang kan sebenarnya hidup sama, punya anak punya suami, tapi she can do it all. Rasanya orang bilang tidak mungkin, tapi itu mungkin. Ibu saya adalah contoh nyata, bahwa perempuan bisa melakukan semua itu.
Contoh nyata, bukan inspirasi saja, benar-benar contoh bahwa bagaimana menjadi perempuan itu ya ibu saya. Dia bisa halus, caring, dan mengejar semua mimpinya.
Dulu waktu saya lagi kuliah di Jakarta, lalu balik libur semesteran, ibu saya akan memanggil saya dan bilang, "Ndok sini tak keroki."
Ya memang begitu caranya, itu obat kangen agar ibu bisa elus anaknya. Figur keibuannya sangat dalam, namun di sisi lain perkasa juga ibu saya itu. Kerja sampai malam, kalau pidato di hadapan orang luar biasa, rajin mencatat, belajar tak henti. Kadang sampai kagum saya, bahkan komputer yang waktu itu masih langka, dia belajar juga.
Jadi saya mendapat contoh nyata pelajaran yang luar biasa dari ibu saya yang bernama Ibu Sarmoko. Tapi, ibu saya ini tidak lengkap juga tanpa suaminya.
Dia tetap butuh laki-laki di mana dia bisa menjadi tempat curahan hati, tapi juga tempat perlindungan karena sering dia keluar kota, Ayah saya mendampingi seperti kontrak sehidup semati.
Kalau Ibu sendiri bagaimana, galak tidak ke anak?
Kayaknya saya baik banget deh, saya pernah baca buku soal 'Tiger Mom' yang menganggap bahwa perempuan Asia itu kalau terhadap anaknya sangat ketat. Jadwal diatur, pagi sekolah, siang les, sangat ketat manajemennya.
Kalau saya mirip ibu saya, management by performances, yang penting saya tahu indikatornya. Waktu mereka ada di perut saya, saya sudah bilang, "Heh, kamu kan anak saya, so you have connection with me, kalau ada apa-apa you will come to me."
Saya tidak pernah katakan bagaimana-bagaimana, saya hanya katakan bahwa mereka punya rumah, mereka punya a safe place to be yourself. Karena di luar kan tekanannya banyak, apalagi di Indonesia jadi anak pejabat itu tidak mudah.
Mereka harus menunjukkan biasa saja karena mereka dididik seperti itu, jadi beri contoh saja sebagai manusia. Saya ajarkan kerja kerasa seperti ibu saya, jadi ini etos hidup kita disiplin terhadap diri sendiri, mulai dari hal kecil apakah ibadah sholat, membersihkan tempat tidur, membersihkan kamar Kmandi.
Sampai sekarang saya sama suami saya masih bersihkan kamar mandi, jadi mereka melihat itu sesuatu yang bukan harus dikasih tahu. Dan saya tidak cerewet, kecuali kalau lagi lecturing mereka seperti ini.
Tapi kalau nyuruh-nyuruh itu saya irit banget, saya tidak suka suasana rumah bising sih. Tapi intens untuk percakapan mengenai hidup, karir, fenomena sosial kita bisa bicara lama soal ini. Tapi nanti kalau kelamaan saya dikritik anak saya juga, terlalu panjang ngomongnya.
Pesan untuk perempuan Indonesia, yang berkarir maupun berumah tangga?
Perempuan adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dengan unik, memiliki takdir yang sudah ditetapkan untuk menjadikan dunia ini lengkap. Fitrah kita sebagai perempuan memang sudah dirancang seperti itu, kita akan jadi mahkluk yang memiliki fungsi melahirkan dan menjalani tugas penting sebagai ibu.
Jadi, you have to take that job seriously saat jadi seorang ibu. Kalau nanti hamil harus punyakapasitas untuk jadi role model bagi anaknya, karena ibu adalah panutan pertama untuk anaknya.
Dia harus bisa menjalani hidup yang baik dan dimunculkan di dirinya.
Lalu, jangan mudah menyerah dengan stereotyping, dihadapi batasan-batasan yang sebenarnya tidak eksis. Itu hanya pandangan yang dibuat masyarakat, tidak ada sebenarnya laki-laki dan perempuan. Itu harus dipisahkan dari diri Anda untuk ambil kesempatan.
Jika perempuan mengikuti potensinya, anak yang mereka lahirkan pasti juga lebih bahagia dan percaya diri juga.
Saya misalnya, senang sekali di rumah, memasak, bersih-bersih melakukan pekerjaan domestik, aktivitas itu semua relaxing. Profesi di luar itu juga dilakukan dengan baik.
Percaya diri bahwa semua yang Anda lakukan itu baik, tidak hanya untuk diri sendiri. Anda juga melakukan keluarga dan misi sosial untuk menciptakan lingkungan yang lebih adil, inklusif, dan lebih egaliterian untuk masyarakat dan bangsa.
(Rd/Detik.Com)


| | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | |