Jakarta,DP News
Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2019
tentang Jabatan Fungsional TNI menuai
kekhawatiran soal bangkitnya dwifungsi ABRI ala Orde Baru. Pihak Istana
Kepresidenan mendeteksi kekhawatiran ini dan menegaskan Perpres itu bukan untuk
membangkitkan dwifungsi ABRI.
"Pertama, Perpres Jabatan Fungsional TNI sama sekali tidak ada kaitannya dengan dwifungsi TNI atau lebih jauh lagi ditafsirkan kembalinya Orba. Sama sekali tidak benar," kata Deputi V KSP Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan HAM, Jaleswari Pramodhawardani, kepada wartawan, Sabtu (29/6).
"Pertama, Perpres Jabatan Fungsional TNI sama sekali tidak ada kaitannya dengan dwifungsi TNI atau lebih jauh lagi ditafsirkan kembalinya Orba. Sama sekali tidak benar," kata Deputi V KSP Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan HAM, Jaleswari Pramodhawardani, kepada wartawan, Sabtu (29/6).
Dani, panggilan Pramodhawardani, menjelaskan, jabatan
fungsional TNI merupakan kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab,
wewenang, dan hak seorang prajurit TNI. Lingkup jabatan yang diatur hanyalah di
lingkungan TNI saja.
"Perpres ini adalah mengatur internal. Jabatan fungsional itu bukan kembalinya dwifungsi, tetapi untuk menghargai profesi dan keahlian yang beragam di dalam TNI sendiri," kata Dani.
"Perpres ini adalah mengatur internal. Jabatan fungsional itu bukan kembalinya dwifungsi, tetapi untuk menghargai profesi dan keahlian yang beragam di dalam TNI sendiri," kata Dani.
Seorang tentara yang berprofesi dosen di Universitas
Pertahanan misalnya, dia bisa mencapai jenjang kepangkatan sampai bintang dua
tanpa harus menjabat struktural sebagai komandan atau jabatan struktural
lainnya di TNI. Namun dosen tersebut harus bisa mencapai tingkat lektor
kepala.
"Konsep ini bukan hanya unik di Indonesia. Ini mengacu ke konsep di Amerika Serikat," kata Dani.
Aturan jabatan ini juga diterapkan di negara demokratis lain. Di Amerika Serikat, seorang sersan mayor yang ahli mesin pesawat terbang tak perlu naik pangkat menjadi letnan bila dia memiliki keahlian. Sepanjang dia bekerja di skuadron teknik, dia mendapat tunjangan.
"Kondisi sebelum Perpres ini, prajurit hanya mengandalkan jabatan struktural, keragaman keahlian, dan ketrampilan, tidak mendapatkan penghargaan yang memadai," kata Dani.
(Detik.com/Rd)
"Konsep ini bukan hanya unik di Indonesia. Ini mengacu ke konsep di Amerika Serikat," kata Dani.
Aturan jabatan ini juga diterapkan di negara demokratis lain. Di Amerika Serikat, seorang sersan mayor yang ahli mesin pesawat terbang tak perlu naik pangkat menjadi letnan bila dia memiliki keahlian. Sepanjang dia bekerja di skuadron teknik, dia mendapat tunjangan.
"Kondisi sebelum Perpres ini, prajurit hanya mengandalkan jabatan struktural, keragaman keahlian, dan ketrampilan, tidak mendapatkan penghargaan yang memadai," kata Dani.
(Detik.com/Rd)