Denny Indrayana selaku
kuasa hukum Pemohon Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 02
Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno akan menyampaikan pokok-pokok
permohonan Pemohon dalam sidang pemeriksaan penanganan PHPU Presiden 2019,
Jumat (14/6) di Gedung MK. Foto Humas/Ganie.
Jakarta,DP News
Setelah pengesahan alat bukti Pemohon pada sidang perdana Hasil Peipres
2019,Hakim Ketua Anwar Usman menutup persidangan dengan mennyebutkan
persidangan berikutnya akan digelar,Selasa, (18/6) pukul 09.00 WIB dengan
agenda mendengarkan jawaban termohon dan Bawaslu serta keterangan pihak terkait.
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana penanganan perkara
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2019 (PHPU
Presiden 2019) di Ruang Sidang Pleno MK pada Jum’at (14/6) pagi.
Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 ini
dimohonkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 02 Prabowo
Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno (Paslon 02).
Di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi
delapan hakim konstitusi lainnya ini, Bambang Widjojanto selaku kuasa hukum
Pemohon menyampaikan pokok-pokok permohonan, di antaranya cacat formil
persyaratan calon wakil presiden Nomor Urut 01 Ma’aruf Amin yang sejak
pencalonan hingga sidang pendahuluan digelar masih berstatus pejabat BUMN.
Selain itu, Pemohon juga mendalilkan cacat materiil Calon Presiden dan
Wakil Presiden Nomor Urut 01 Joko Widodo dan Ma’ruf Amin selaku Pihak Terkait atas
penggunaan dana kampanye yang diduga berasal dari sumber fiktif serta
pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang telah
dilakukan Pihak Terkait dalam Pilpres 2019 yang telah digelar pada 17 April
2019 lalu.
Terkait dengan argumentasi kualitatif sehubungan dengan telah terjadinya
kecurangan pemilu yang bersifat TSM, Denny Indrayana melanjutkan penjabaran
bahwa bukti-bukti yang disampaikan berupa tautan berita bukanlah semata-mata
hanya informasi.
Dalam laman Humas Mahkamah Konstitusi diberitakan,sesuai dengan Pasal 36
ayat (1) UU MK yang menegaskan tautan berita tersebut, tambahnya, dapat
digolongkan pada alat bukti berupa surat atau tulisan, petunjuk, atau alat
bukti lain yang diucapkan, dikirim, dan diterima, atau disimpan secara
elektronik.
“Yang pasti, tautan berita itu kami ambil dari media massa yang tidak
diragukan kredibilitasnya. Kami meyakini berita tersebut telah dilakukan check
and recheck sebelum tulisan tersebut dituliskan. Apalagi sebagian besar
dari tautan itu adalah fakta yang tidak dibantahkan sehingga diakui kebenarannya
dan mempunyai nilai bukti sebagai pengakuan,” urai Denny yang hadir bersama
kuasa hukum Pemohon lainnya seperti Luthfi Yazid dan Teuku Nasrullah.
Selanjutnya, Denny menyampaikan bahwa menurut pihaknya permasalahan Pilpres
2019 tidak dapat dilepaskan dari prinsip dasar pemilihan umum yang jujur dan
adil. Dalam Pilpres 2019 ini, tambah Denny, adalah persaingan yang bebas dan
adil tidak terjadi di antara peserta Pilpres 2019.
Hal yang dihadapi Pemohon sebagai pasangan calon, bukanlah pasangan calon lainnya,
melainkan Presiden Petahana Joko Widodo yang dinilainya menyalahgunakan
kekuasaan serta memanfaatkan fasilitas negara yang melekat pada dirinya.
“Penyalahgunaan anggaran dan program kerja negara adalah modus lain money
politics atau vote buying yang secara langsung atau tidak langsung
telah merugikan Paslon 02. Karenanya telah melanggar Pasal 282 UU Nomor 7 Tahun
2017 yang nyata-nyata bertentangan dengan syarat pemilu yang jujur dan adil.
Karena tidak menciptakan ruang persaingan yang setara di antara kontestan
Pilpres 2019,” terang Denny
Suara Pemohon
Berikutnya Teuku Nasrullah selaku kuasa hukum Pemohon lainnya menyampaikan
argumentasi kuantitatif terhadap kecurangan yang telah merugikan perolehan
suara Pemohon dalam Pilpres 2019.
Dalil yang dikemukakan di antaranya, Komisi Pemilihan Umum (Termohon)
tidak menjalankan rekomendasi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) di
Surabaya dan Papua; ditemukannya tempat pemungutan suara (TPS) siluman setelah
dilakukannya konfirmasi dengan membandingkan TPS berdasarkan Penetapan Termohon
dengan informasi yang terdapat dalam Sistem Informasi Penghitungan (Situng)
Termohon.
Selain itu, jelas Nasrullah, pihaknya juga menemukan adanya indikasi
manipulasi Daftar Pemilih Khusus dan masalah eksistensi situng atas proses
penghitungan dan rekapitulasi. Kemudian adanya masalah penggunaan dokumen C7
yang seharusnya menjadi dokumen untuk mengonfirmasi jumlah pemilih yang hadir
pada suatu dalam menggunakan hak pilihnya yang dinyatakan hilang.
Adapun terkait dengan seluruh maslaah yang terjadi tersebut, jelas
Nasrullah, memengaruhi perolehan suara yang diperoleh Pemohon. “Perhitungan
perolehan suara yang benar menurut Pemohon adalah Paslon 01 memperoleh
63.573.169 suara (48%), sedangkan Paslon 02 memperoleh 68.650.239 suara atau
52%,” sebut Nasrullah.
Terhadap alasan hukum tersebut, Bambang memohonkan kepada Mahkamah melalui
salah satu Petitumnya agar menyatakan batal dan tidak sah Keputusan KPU Nomor
987/PL.01.08-KPT/06/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan
Perwakilan Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
secara nasional dalam Pemilihan Umum 2019 sepanjang terkait dengan hasil
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2019.
Substansi Perbaikan
Usai mendengarkan pokok-pokok permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi
Suhartoyo memberikan tanggapannya mengenai klarifikasi Pihak Terkait dan
Termohon atas pokok permohonan yang dibacakan Pemohon dalam sidang pendahuluan
yang merupakan permohonan yang sebagian besar adalah permohonan yang
teregistrasi pada 10 Juni 2019 dan sebagian lagi adalah permohonan yang
teregistrasi pada 24 Mei 2019. Mendapati perdebatan ini, Suhartoyo menjelaskan
bahwa berpedoman pada Peraturan MK Nomor 5 Tahun 2018 tentang tahapan
persidangan, permohonan, kelengkapan, dan perbaikan permohonan yang
dikecualikan untuk PHPU Presiden memang tidak menjelaskan mengenai ruang
perbaikan. Namun demikian, tambah Suhartoyo, permohonan yang disampaikan dalam
persidangan pendahuluan ini haruslah dilihat dasar hukum yang disampaikan
Pemohon secara faktual terjadi. “Maka, biar Mahkamah yangg menilai berdasarkan
argumentasi hukum yang bisa dipertanggungjawabkan,” tegas Suhartoyo.
Hal senada juga disampaikan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna bahwa
pembentuk undang-undang menyadari hukum acara MK tidak bisa bergantung pada UU
MK itu sendiri. “Kita perlu memahami bahwa UU Pemilu tiap 5 tahun berubah.
Maka, di luar Pasal 55 PMK 4/2018 demi tidak adanya kekosongan hukum acara, MK
dapat melakukan beberapa penyesuaian dan penilaian termasuk permohonan yang
disampaikan pada sidang hari ini.” jelas Palguna.(Rd/ Humas MK/Sri
Pujianti/LA/NB)